Sabtu, 15 Oktober 2011

Dekonstruksi wacana keagamaan dalam maysarakat majemuk


Akhir-akhir ini, kehidupan agama kita sering dikagetkan dengan banyak peristiwa diluar prediksi nalar manusia. Banyak kejadian yang jika kita telusuri lebih jauh dan mendalam merupakan “simbol-simbol” dari apa yang selama ini kita lakukan dalam bermasyarakat. Sebagai masyarakat beragama, (religious society), pun sering kita diguncang dengan banyaknya peristiwa yang sentimental, rasial, collective, violence, dengan upaya-upaya mengalir di air yang keruh sehingga tampaknya bermuatan keagamaan. Berbagai peristiwa itu sama sekali bukan bermuara agama semua itu berubah menjadi peristiwa yang sarat dengan sentiment-sentimen keagamaan sehingga tak jarang membuyarkan anggapan bahwa agama adalah pembawa damai dan keselamatan berasama. Agama manjadi semacam ancaman yang bisa dengan tiba-tiba datang memberangus kehidupan bersama di bumi.
            Perilaku umat bragama tampak tak sesuai dengan anjuran suci agama-agama. Suasana paradoks sering mengiringi kehidupan umat. Lebih lebih bagi mereka yang merasa dengan malakukan “pelarangan” atau “penghalangan” terhadap sesame pemeluk agama adalah sebuah investasi pahala. Perbuatan mengahalangi adalah jihad yang didorong justifikasi agama, suasana yang semacam ini akhirnya membawa kita pada keterbelakangan kehidupan agama.
            Perasaan sentimental pada umat beragama yang telah mengental tidak berdiri sendirian, ia mendapat legitimasi kekuasaan yang merupakan justifikasi terkuat karena disahkan untuk “memaksakan” sebuah kebijakan sehingga pada ujung-ujungnya antara umat beragama pun bisa saling membunuh atas nama agama. Sumber legitimasi tersebut barangkali memang perlu mandapat perhatian serius, sehingga tidak mendorong agama-agama untuk “memanfatkan” momen-momen tertentu yang digunakan sebagai senjata mati untuk menelikung saudara sebangsa setanah air.
            Kekuatan legitimasi dari wacana agama menjadi semakin kuat dominasinya dalam sebuah Negara yang memang dengan sengaja memanfaatkan agama sebagai sumber justifikasi atas apa yang hendak di fatwakan, walaupun salah satu atau sebagian dari anggota masyarakat itu dirugikan atau banyak orang keberatan karena itu diluar nalar manusia. Tetapi, karena merasa mendapatkan angina dari pihak agama (dogma-dogma agama) dan sekaligus dukungan dari rezim politik tertentu, maka kebijakan tersebut tetap difatwakan secara tegas.
            Tragis memang, dan mendistorsi wacana agama, tetapi itu sering menjadi realitas yang tidak bisa ditolak kehadirannya. Wacana agama dikerangkeng dalam sangkar besi yang teramat kuat sehingga tidak terjamah masyarakat awam dan menjadi eksklusif serta mencekam setiap orang yang beragama namun tidak memiliki akses politik kekuasaan, atau hanya sedikit akses politik karena telah di tutup segala pintu dan wilayah sehingga tidak bisa memasuki, karena dijaga “pengawal-pengawal” tradisi politik keagamaan yang dominant.
            Dalam konteks seperti diatas, bagaimana wacana agama bisa kita hadirkan kembali sebagai wacana yang tidak seram dan mencekam penganut agama-agama agaknya perlu dipikirkan bersama. Pemegang otoritas dominant atas tafsir suci teks agama barangkali perlu dikonstrulksikan kembali, dan bahkan kalau perlu didekonstruksikan sehingga tidak membelenggu wacana agama itu sendiri.
            Tugas berat menghadang para penaganut agama-agama yang berkemauan untuk beragam secara saleh, mendamaikan dan menabur keselamatan demi kepentingan umat manusia. Menempatkan wacana agama sebagai wacana yang berdimensi sosiaal kemayarakatan sehingga memunculkan wacana keagamaan yang adil dalam prilaku ekonomi., politik, hukum, dan aktivitas kemanusiaan adalah sebuah wacana social dari agama-agama yang berdimensi universal.
            Jika selamanya timbul anggapan adanya pemegang otoritas atas tafsir wacana agama, maka hal itu sudah sepatutnya dipikirkan ulang (reinterpretasi), karena barangkali anggapan semacam itu sudah tidak relevan lagi dalam dunia yang serba penuh tantangan globalisasi dan skularisasi ini. Barangkali, wacana keagamaan awam perlu mendapatkan porsianya tersendiri tanpa mengabaikan adanya wacana elit agama yang sudah menjadi tradisi dalam setiap wacana keagamaan.
            Wacana keagamaan awam yang saya maksudkan dalah sebuah discourse keagamaan yang dibangun dilingkungan para penganut agama yang tidak secara langsung memiliki hubungan dan akses politik terhadap sebuah tatanan social politik Negara. Wacana ini berasala dari pemahaman “murni” para penganut agama yang secara sadar mereka ikuti dan yakini selama ini, bukan karena factor situasi politik sebuah Negara, namun lebih berdasar pada situasi kemasyarakatan sekitar tempat tinggalnya. Dengan demikian wacana keagamaan awam bisa juga dikatakan sebagai wacana keagamaan yang bersifat kultural dan biasa jadi sinkretis. Dia tercampur tradisi-tradisi sebelum dia menganut sebuah agama formal tertentu. Wacana agama dalam kategori ini bisa sangat terbuka, inkulusif, dan mentradisi karena memang berpegangan pada pengalaman hidup sehari-hari. Sementra itu, wacana keagamaan “elit” adalah sebuah wacana agama yang didasarkan atas konstruksi sebuah lembaga tertentu yang dipandang memiliki otoritas terhadap discourse agama dalam suatu Negara. Wacana agama ini mengalir dari mereka yang secara real memiliki akses terhadap politik kekuasaan tatanan social politik tertentu.
            Dengan demikian, wacana keagamaan ini bisa bersifat sangat eksklusif, monoton, dan monolog, bisa juga bersifat sangat “situasional” karena memang menyesuiakan diri dengan kondisi tatanan social politik Negara.
            Wacana tersebut munkin terbebaskan dari penglaman keseharian masyarakatnya, namun tetap dominant dalam orde politik tertentu. Wacana agam seperti itu yang munkin bisa menjadi pemicu bagi orang yang suka-suka mengail di air keruh untuk mendapatkan ikan sebagai hasilnya. Mengingat ada wacana diatas, kitapun masih harus berpikir sekuat tenaga bagaimana menjadikan wacana agama-agama itu tetap tergali dari pengalaman-pengalaman keagamaan yang telah lama diyakini setiap pemeluk agama tanpa terkecuali. Penggalian terhadap teks-teks suci agama menjadi salah satu tujuan pokok bagaimana menghadirkan wacana agama secara toleran dan trasformatif di tengah-tengah masyarakat beragama.
            Dari uraian hal-hal diatas barangkali kita sebagai umat beragama bisa membangun sebuah tradisi wacana keagamaan yang menghargai setiap kehadiran setiap agama dan bisa menghadirkan wacana agama secara toleran dan transformative.

Senin, 30 Mei 2011

Bersama Menggapai Asa

Fajar menyingsing, mentari menyapa, guguran-guguran embun pagi masih terasa kala suara burung-burung di angkasa bernyanyi riang gembira. Pagi yang indah itu hari Selasa tanggal 17-05-2011 di balai RK yang berada di tikungan gang Sapen tampak ramai sekali. Sosok-sosok cantik nan pualam tampak menghiasi balai itu. Tentunya juga sosok-sosok rupawan juga ikut berbaur di situ. Mereka adalah para mahasiswa-mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang tergabung dalam UKM Kordiska(Korps Dakwah Islamiyah Sunan Kalijaga) hari itu mereka akan mengadakan rapat kerja organisasinya tersebut.

Selasa, 24 Mei 2011

ZAMAN SERBA TERBALIK

Oleh: Shofi’i el Fathi
Ini zaman serba terbalik. Musang berbulu ayam dan serigala berbulu domba, merupakan panorama yang anyar. Bermacam kesenian modern—khususnya film—bukan dimanfaatkan untuk memperhalus budi nurani, membina peradaban bangsa menyemai rasa religiusitas, namun malah sebaliknya. Mayoritas film-film nasional maupun film-film impor justru lebih mendorong merajalelanya sikap hedonistik, bebas luar biasa, suka pamer dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Film bukannya menyuguhkan drama kehidupan dan cerita-cerita yang bersifat edukatif, tetapi malah mempertontonkan hal-hal yang tabu menurut kriteria agama dan etika ketimuran.
Dapat kita saksikan, betapa dengan giatnya film-film nasional kita mengekspos adegan-adegan mesum, menampilkan cerita-cerita konyol, dengan teknik ungkap yang vulgar. Keluar dari ruang TV atau gedung bioskop, orang bukannya memperoleh renungan-renungan hidup yang membawa ke arah kesadaran spiritual, melainkan bermacam-macam bentuk ritualisasi yang mendangkalkan akidah. Keberadaan film nasional, dengan sangat transparan dan tanpa malu-malu mengajari penonton dengan praktik-praktik yang mengumbar hawa nafsu, teknik-teknik berbuat jahat, tayangan gaib yang condong ke arah syirik, kegandrungan hal-hal duniawi, dan sebagainya.
Panggung Sandiwara
Ini zaman serba terbalik, serba edan. Dunia ini seperti halnya panggung sandiwara. Apa yang digelar dan dipentaskan dalam panggung kehidupan, terkadang lebih dramatis, dan lebih menipu daripada yang biasa kita saksikan lewat layar perak dan layar kaca. Kepalsuan, kemunafikan dan kekonyolan begitu merunyak. Apa yang ditayangkan pada film, sesungguhnya merupakan kepalsuan, kemunafikan dan kekonyolan pada masyarakat kita. Film adalah kemasan yang sangat eksploratif akan realitas sosial kekinian.

Mengungkap Makna dibalik “فَا سْتَبِقُوْا الخَيْرَات ”

“Fastabiqul khairat”, ungkapan ini pasti tidak asing lagi terngiang di telinga kita, banyak orang, bahkan hampir semua orang mengartikan bahwa fastabiqul khairat itu berlomba-lomba dalam kebaikan. Berasal dari kata سَبَقَ - يَسْبُقُ – سَبْقا  artinya mendahului atau bercepat-cepat.
Jikalau kita mengartikan potongan ayat itu dengan berlomba-lomba, maka marilah kita beranalogi terlebih dahulu. Dalam suatu perlombaan tentu ada yang menang dan ada juga yang kalah, dapat kita lihat dari gejala pendidikan di Indonesia, adanya system rangking di kelas yang diterapkan oleh hampir semua sekolah di Indonesia. Hal ini tidak selamanya berdampak baik, namun yang rinisnya, hal ini dapat berdampak buruk bagi psikologi sebagian siswa, karena kemampuan masing-masing anak didik itu berbeda- beda, dan merekapun mempunyai bakat yang berbeda pula. Bagi yang mendapat juara (pintar) mereka akan merasa senang, puas, dan bangga akan hasil yang telah diraih, namun bagi sebagian siwa lain yang mempunyai kelebihan hanya di bidang tertentu saja, atau mereka yang tidak mendapat rangking, maka mereka akan merasa kecil hati. 

Rabu, 27 April 2011

KEPEMIMPINAN ALA INDONESIA


Oleh: Mohammad Affan*
        Seorang pakar sosiologi dari UI, Dr. Kastorius Sinaga, pernah berkomentar tentang pola hubungan kekuasaan di Indonesia: “Bagi orang Indonesia, kekuasaan merupakan privilege (anugerah) yang datang dari Tuhan ketimbang amanat dari rakyat”.  Lalu tambahnya “Kekuasaan yang bagaikan raja ini berkenaan dengan budaya bangsa kita sejak dahulu kala yang memang bersandarkan pada kekuasaan ketimbang pelayanan, terutama dalam budaya Jawa”. Dengan demikian, konsep kepemimpinan yang berkembang sejak zaman pemerintahan raja-raja, zaman penjajahan, zaman Soeharto, dan zaman pemerintahan Orde Baru dapat dikatakan pemimpin dengan gaya kepemimpinan masih terpisah dengan masyarakat. Hal seperti inilah yang kemudian mengejawantah dalam budaya kepemimpinan nasional yang masih menjadi warisan sampai pemerintahan sekarang.

Selasa, 26 April 2011

Cetak Biru Agama ‘Aqly

Oleh : Hatim Gazali*

          Tak terbantahkan, bahwa pluralitas agama (religi) dan keberagamaan (religiosity) merupakan sebuah kenyataan yang harus kita terima adanya. Dan, kita tidak memiliki otoritas untuk menyeragamkan pluralitas tersebut (QS. 2; 263, 10: 99). Pluralitas agama merupakan sunnatullah (QS 30:22) sebagai konsekwensi logis dari pemahaman kita atas kehendak dan firman Tuhan yang universal.
            Kendati sebagai sunnatullah, pluralitas agama seringkali menyita masing-masing umat agama untuk saling bertarung dan memperebutkan “tafsir kebenaran” yang absolut. Masing-masing penganut agama menyakini bahwa hanya agama yang dianutnya yang benar, sementara agama lain adalah salah dan berada dalam kesesatan. Begitu pula sebaliknya. Hidup ini seakan-akan sebuah pertandingan untuk memperoleh “piala kebenaran” dari Tuhan dengan menghilangkan eksistensi agama dan keberagamaan yang berbeda dengannya.
            Truth claim dan salvation claim seperti ini tidak bisa disalahkan sama sekali. Di samping untuk mempertahankan keimanan atas agamanya, juga karena doktrin dan kitab suci agama pun bersikap demikian. Extra eccelian nulla salus (tidak ada kebenaran di luar gereja) dalam Kristen dan bahwa sesungguhnya agama yang diterima di sisi Tuhan hanyalah Islam merupakan representasi dari adanya truth claim tersebut. Begitu pula dengan agama-agama lainnya. Meskipun beberapa kalangan hendak melakukan penafsiran ulang terhadap doktrin kitab suci yang eksklusif itu menjadi inklusif, namun yang tersosialisasi dalam masyarakat awam bangsa Indonesia adalah sebuah tafsir yang eksklusif.

PERAN IDEAL PEREMPUAN

Oleh: Sri Wahyuni*

Dalam masyarakat Jawa, sering dikenal peribahasa ‘suwarga nunut neraka katut’. Peribahasa ini ditujukan kepada kaum perempuan, yang berarti bahwa surga-nerakanya seorang perempuan tergantung kepada suaminya. Seorang istri harus tunduk, taat dan patuh terhadap suami. Apapun yang dikatakan dan diperintahkan suami, istri harus mengikuti dan melaksanakannya.
Seorang istri juga dianggap ‘konco wingking’ sang suami. Artinya bahwa seorang istri dianggap sebagai orang yang hanya bertugas di belakang, yang identik dengan pekerjaan rumah tangga. Oleh karena itu, sering juga dikatakan bahwa tugas perempuan itu hanya ‘dapur sumur kasur’, atau sering pula diungkap dengan istilah ‘masak macak manak’. Seorang perempuan hanya dianggap manusia nomor dua, yang melengkapi peran suaminya dalam urusan kerumah tanggaan, yaitu urusan menyuci, bersih-bersih, memasak, dan melayani sang suami.
Dalam masyarakat Jawa, sering dikenal peribahasa ‘suwarga nunut neraka katut’. Peribahasa ini ditujukan kepada kaum perempuan, yang berarti bahwa surga-nerakanya seorang perempuan tergantung kepada suaminya. Seorang istri harus tunduk, taat dan patuh terhadap suami. Apapun yang dikatakan dan diperintahkan suami, istri harus mengikuti dan melaksanakannya.