Rabu, 27 April 2011

KEPEMIMPINAN ALA INDONESIA


Oleh: Mohammad Affan*
        Seorang pakar sosiologi dari UI, Dr. Kastorius Sinaga, pernah berkomentar tentang pola hubungan kekuasaan di Indonesia: “Bagi orang Indonesia, kekuasaan merupakan privilege (anugerah) yang datang dari Tuhan ketimbang amanat dari rakyat”.  Lalu tambahnya “Kekuasaan yang bagaikan raja ini berkenaan dengan budaya bangsa kita sejak dahulu kala yang memang bersandarkan pada kekuasaan ketimbang pelayanan, terutama dalam budaya Jawa”. Dengan demikian, konsep kepemimpinan yang berkembang sejak zaman pemerintahan raja-raja, zaman penjajahan, zaman Soeharto, dan zaman pemerintahan Orde Baru dapat dikatakan pemimpin dengan gaya kepemimpinan masih terpisah dengan masyarakat. Hal seperti inilah yang kemudian mengejawantah dalam budaya kepemimpinan nasional yang masih menjadi warisan sampai pemerintahan sekarang.

Selasa, 26 April 2011

Cetak Biru Agama ‘Aqly

Oleh : Hatim Gazali*

          Tak terbantahkan, bahwa pluralitas agama (religi) dan keberagamaan (religiosity) merupakan sebuah kenyataan yang harus kita terima adanya. Dan, kita tidak memiliki otoritas untuk menyeragamkan pluralitas tersebut (QS. 2; 263, 10: 99). Pluralitas agama merupakan sunnatullah (QS 30:22) sebagai konsekwensi logis dari pemahaman kita atas kehendak dan firman Tuhan yang universal.
            Kendati sebagai sunnatullah, pluralitas agama seringkali menyita masing-masing umat agama untuk saling bertarung dan memperebutkan “tafsir kebenaran” yang absolut. Masing-masing penganut agama menyakini bahwa hanya agama yang dianutnya yang benar, sementara agama lain adalah salah dan berada dalam kesesatan. Begitu pula sebaliknya. Hidup ini seakan-akan sebuah pertandingan untuk memperoleh “piala kebenaran” dari Tuhan dengan menghilangkan eksistensi agama dan keberagamaan yang berbeda dengannya.
            Truth claim dan salvation claim seperti ini tidak bisa disalahkan sama sekali. Di samping untuk mempertahankan keimanan atas agamanya, juga karena doktrin dan kitab suci agama pun bersikap demikian. Extra eccelian nulla salus (tidak ada kebenaran di luar gereja) dalam Kristen dan bahwa sesungguhnya agama yang diterima di sisi Tuhan hanyalah Islam merupakan representasi dari adanya truth claim tersebut. Begitu pula dengan agama-agama lainnya. Meskipun beberapa kalangan hendak melakukan penafsiran ulang terhadap doktrin kitab suci yang eksklusif itu menjadi inklusif, namun yang tersosialisasi dalam masyarakat awam bangsa Indonesia adalah sebuah tafsir yang eksklusif.

PERAN IDEAL PEREMPUAN

Oleh: Sri Wahyuni*

Dalam masyarakat Jawa, sering dikenal peribahasa ‘suwarga nunut neraka katut’. Peribahasa ini ditujukan kepada kaum perempuan, yang berarti bahwa surga-nerakanya seorang perempuan tergantung kepada suaminya. Seorang istri harus tunduk, taat dan patuh terhadap suami. Apapun yang dikatakan dan diperintahkan suami, istri harus mengikuti dan melaksanakannya.
Seorang istri juga dianggap ‘konco wingking’ sang suami. Artinya bahwa seorang istri dianggap sebagai orang yang hanya bertugas di belakang, yang identik dengan pekerjaan rumah tangga. Oleh karena itu, sering juga dikatakan bahwa tugas perempuan itu hanya ‘dapur sumur kasur’, atau sering pula diungkap dengan istilah ‘masak macak manak’. Seorang perempuan hanya dianggap manusia nomor dua, yang melengkapi peran suaminya dalam urusan kerumah tanggaan, yaitu urusan menyuci, bersih-bersih, memasak, dan melayani sang suami.
Dalam masyarakat Jawa, sering dikenal peribahasa ‘suwarga nunut neraka katut’. Peribahasa ini ditujukan kepada kaum perempuan, yang berarti bahwa surga-nerakanya seorang perempuan tergantung kepada suaminya. Seorang istri harus tunduk, taat dan patuh terhadap suami. Apapun yang dikatakan dan diperintahkan suami, istri harus mengikuti dan melaksanakannya.

Senin, 18 April 2011

NESTAPA TRADISIONALISME-MODERNISME

Oleh: Muhammad Qowim, M.Ag. (Pembina KORDISKA)

Respons masyarakat terhadap kemajuan dan perkembangan sains setidaknya membentuk dua paradigma besar yaitu, (i) modernisme, dan (ii) tradisionalisme.[1] Modernisme mewakili tanggapan positif terhadap pesatnya inovasi sains dan perubahan yang telah dicapai oleh peradaban Barat. Secara umum, modernisme dianggap mewakili pendekatan yang pragmatik dan berpandangan luas.[2] Modernisme adalah kesan langsung modernisasi atas pemikiran manusia, baik keseluruhan, keindividualannya maupun kehidupan sosialnya.[3] Sebaliknya, tradisionalisme merupakan sikap yang negatif terhadap segala pencapaian inovasi sains modern dan terhadap pihak Barat seluruhnya. Karakter penting tradisionalisme ialah keadaan yang statik, pasif dan tindak balas yang agresif terhadap ancaman luar dan gerakan pembaharuan. Para pendukung tradisionalisme seringkali dianggap sebagai intelektual konservatif yang berpandangan bahwa masa lalu lebih baik daripada masa depan. Cita-cita tradisionalis adalah untuk mengembalikan zaman keemasan (Golden Age) setelah mereka dikecewakan oleh fenomena kemunduran dan kelemahan masyarakat atau lingkungan mereka.[4]
Menghadapkan modernisme-tradisionalisme merupakan pendekatan awal untuk memahami sisi ontologis dari tradisionalisme. Namun dari sisi histories, tradisionalisme ternyata memiliki akar sejarah yang panjang. Secara histories, sains berkembang dari belahan peradaban Timur (India, Mesir, Cina), lalu diteruskan oleh peradaban Yunani, lalu dilanjutkan oleh peradaban Islam dan akhirnya dikembangkan oleh peradaban Eropa. Jika tradisi berasal dari kata traditium, yaitu segala sesuatu yang ditransmisikan dan diwariskan oleh masa lalu ke masa sekarang,[5] maka segala kemajuan modernitas tidak lebih dari fase perkembangan tradisi, dan konsekuensinya, modernitas adalah buah dari tradisionalisme. Maka dari sisi histories ini, polemic tradisionalisme muncul bukan karena sains, melainkan lebih sebagai akibat kebaharuan yang ditimbulkan oleh sains. Prinsip histories ini menyimpulkan bahwa tradisionalisme timbul sebagai reaksi terhadap munculnya ketidaksinambungan antara yang lama dan yang baru.[6]

Kamis, 07 April 2011

Dakwah Transformatif

Islam sebagai agama yang menyebar ke seluruh penjuru dunia tampil secara kreatif berdialog dengan masyarakat setempat (lokal), berada dalam posisi yang menerima kebudayaan lokal, sekaligus memodifikasinya menjadi budaya baru yang dapat diterima oleh masyarakat setempat dan masih berada di dalam jalur Islam. Karena itu, Islam telah mengubah kehidupan sosio-budaya dan tradisi keruhanian masyarakat Indonesia. Kedatangan Islam merupakan pencerahan bagi kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia, karena Islam sangat mendukung intelektualisme yang tidak terlihat pada masa Hindu-Budha.
Islam masuk ke Indonesia melalui jalan dakwah yang panjang yang dilakukan oleh para juru dakwah dari bebeberapa negara, seperti bangsa Arab dan Gujarat. Dakwah Islam yang dilakukan para juru dakwah di masa awal-awal Islam masuk ke Indonesia berhasil menaklukkan hati masyarakat Indonesia yang waktu itu menganut agama kepercayaan, Hindu dan Budha. Keberhasilan para juru dakwah di abad ke-16-17 itu lebih banyak disebabkan oleh cara dakwah mereka yang menunjukkkan hubungan yang dialogis, akomodatif, dan adaptif terhadap masyarakat setempat. Inilah yang kemudian menyebabkan Islam mudah diterima oleh masyarakat Indonesia.