Senin, 30 Mei 2011

Bersama Menggapai Asa

Fajar menyingsing, mentari menyapa, guguran-guguran embun pagi masih terasa kala suara burung-burung di angkasa bernyanyi riang gembira. Pagi yang indah itu hari Selasa tanggal 17-05-2011 di balai RK yang berada di tikungan gang Sapen tampak ramai sekali. Sosok-sosok cantik nan pualam tampak menghiasi balai itu. Tentunya juga sosok-sosok rupawan juga ikut berbaur di situ. Mereka adalah para mahasiswa-mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang tergabung dalam UKM Kordiska(Korps Dakwah Islamiyah Sunan Kalijaga) hari itu mereka akan mengadakan rapat kerja organisasinya tersebut.

Selasa, 24 Mei 2011

ZAMAN SERBA TERBALIK

Oleh: Shofi’i el Fathi
Ini zaman serba terbalik. Musang berbulu ayam dan serigala berbulu domba, merupakan panorama yang anyar. Bermacam kesenian modern—khususnya film—bukan dimanfaatkan untuk memperhalus budi nurani, membina peradaban bangsa menyemai rasa religiusitas, namun malah sebaliknya. Mayoritas film-film nasional maupun film-film impor justru lebih mendorong merajalelanya sikap hedonistik, bebas luar biasa, suka pamer dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Film bukannya menyuguhkan drama kehidupan dan cerita-cerita yang bersifat edukatif, tetapi malah mempertontonkan hal-hal yang tabu menurut kriteria agama dan etika ketimuran.
Dapat kita saksikan, betapa dengan giatnya film-film nasional kita mengekspos adegan-adegan mesum, menampilkan cerita-cerita konyol, dengan teknik ungkap yang vulgar. Keluar dari ruang TV atau gedung bioskop, orang bukannya memperoleh renungan-renungan hidup yang membawa ke arah kesadaran spiritual, melainkan bermacam-macam bentuk ritualisasi yang mendangkalkan akidah. Keberadaan film nasional, dengan sangat transparan dan tanpa malu-malu mengajari penonton dengan praktik-praktik yang mengumbar hawa nafsu, teknik-teknik berbuat jahat, tayangan gaib yang condong ke arah syirik, kegandrungan hal-hal duniawi, dan sebagainya.
Panggung Sandiwara
Ini zaman serba terbalik, serba edan. Dunia ini seperti halnya panggung sandiwara. Apa yang digelar dan dipentaskan dalam panggung kehidupan, terkadang lebih dramatis, dan lebih menipu daripada yang biasa kita saksikan lewat layar perak dan layar kaca. Kepalsuan, kemunafikan dan kekonyolan begitu merunyak. Apa yang ditayangkan pada film, sesungguhnya merupakan kepalsuan, kemunafikan dan kekonyolan pada masyarakat kita. Film adalah kemasan yang sangat eksploratif akan realitas sosial kekinian.

Mengungkap Makna dibalik “فَا سْتَبِقُوْا الخَيْرَات ”

“Fastabiqul khairat”, ungkapan ini pasti tidak asing lagi terngiang di telinga kita, banyak orang, bahkan hampir semua orang mengartikan bahwa fastabiqul khairat itu berlomba-lomba dalam kebaikan. Berasal dari kata سَبَقَ - يَسْبُقُ – سَبْقا  artinya mendahului atau bercepat-cepat.
Jikalau kita mengartikan potongan ayat itu dengan berlomba-lomba, maka marilah kita beranalogi terlebih dahulu. Dalam suatu perlombaan tentu ada yang menang dan ada juga yang kalah, dapat kita lihat dari gejala pendidikan di Indonesia, adanya system rangking di kelas yang diterapkan oleh hampir semua sekolah di Indonesia. Hal ini tidak selamanya berdampak baik, namun yang rinisnya, hal ini dapat berdampak buruk bagi psikologi sebagian siswa, karena kemampuan masing-masing anak didik itu berbeda- beda, dan merekapun mempunyai bakat yang berbeda pula. Bagi yang mendapat juara (pintar) mereka akan merasa senang, puas, dan bangga akan hasil yang telah diraih, namun bagi sebagian siwa lain yang mempunyai kelebihan hanya di bidang tertentu saja, atau mereka yang tidak mendapat rangking, maka mereka akan merasa kecil hati.