Oleh : Hatim Gazali*
Tak terbantahkan, bahwa pluralitas agama (religi) dan keberagamaan (religiosity) merupakan sebuah kenyataan yang harus kita terima adanya. Dan, kita tidak memiliki otoritas untuk menyeragamkan pluralitas tersebut (QS. 2; 263, 10: 99). Pluralitas agama merupakan sunnatullah (QS 30:22) sebagai konsekwensi logis dari pemahaman kita atas kehendak dan firman Tuhan yang universal.
Kendati sebagai sunnatullah, pluralitas agama seringkali menyita masing-masing umat agama untuk saling bertarung dan memperebutkan “tafsir kebenaran” yang absolut. Masing-masing penganut agama menyakini bahwa hanya agama yang dianutnya yang benar, sementara agama lain adalah salah dan berada dalam kesesatan. Begitu pula sebaliknya. Hidup ini seakan-akan sebuah pertandingan untuk memperoleh “piala kebenaran” dari Tuhan dengan menghilangkan eksistensi agama dan keberagamaan yang berbeda dengannya.
Truth claim dan salvation claim seperti ini tidak bisa disalahkan sama sekali. Di samping untuk mempertahankan keimanan atas agamanya, juga karena doktrin dan kitab suci agama pun bersikap demikian. Extra eccelian nulla salus (tidak ada kebenaran di luar gereja) dalam Kristen dan bahwa sesungguhnya agama yang diterima di sisi Tuhan hanyalah Islam merupakan representasi dari adanya truth claim tersebut. Begitu pula dengan agama-agama lainnya. Meskipun beberapa kalangan hendak melakukan penafsiran ulang terhadap doktrin kitab suci yang eksklusif itu menjadi inklusif, namun yang tersosialisasi dalam masyarakat awam bangsa Indonesia adalah sebuah tafsir yang eksklusif.