Senin, 18 April 2011

NESTAPA TRADISIONALISME-MODERNISME

Oleh: Muhammad Qowim, M.Ag. (Pembina KORDISKA)

Respons masyarakat terhadap kemajuan dan perkembangan sains setidaknya membentuk dua paradigma besar yaitu, (i) modernisme, dan (ii) tradisionalisme.[1] Modernisme mewakili tanggapan positif terhadap pesatnya inovasi sains dan perubahan yang telah dicapai oleh peradaban Barat. Secara umum, modernisme dianggap mewakili pendekatan yang pragmatik dan berpandangan luas.[2] Modernisme adalah kesan langsung modernisasi atas pemikiran manusia, baik keseluruhan, keindividualannya maupun kehidupan sosialnya.[3] Sebaliknya, tradisionalisme merupakan sikap yang negatif terhadap segala pencapaian inovasi sains modern dan terhadap pihak Barat seluruhnya. Karakter penting tradisionalisme ialah keadaan yang statik, pasif dan tindak balas yang agresif terhadap ancaman luar dan gerakan pembaharuan. Para pendukung tradisionalisme seringkali dianggap sebagai intelektual konservatif yang berpandangan bahwa masa lalu lebih baik daripada masa depan. Cita-cita tradisionalis adalah untuk mengembalikan zaman keemasan (Golden Age) setelah mereka dikecewakan oleh fenomena kemunduran dan kelemahan masyarakat atau lingkungan mereka.[4]
Menghadapkan modernisme-tradisionalisme merupakan pendekatan awal untuk memahami sisi ontologis dari tradisionalisme. Namun dari sisi histories, tradisionalisme ternyata memiliki akar sejarah yang panjang. Secara histories, sains berkembang dari belahan peradaban Timur (India, Mesir, Cina), lalu diteruskan oleh peradaban Yunani, lalu dilanjutkan oleh peradaban Islam dan akhirnya dikembangkan oleh peradaban Eropa. Jika tradisi berasal dari kata traditium, yaitu segala sesuatu yang ditransmisikan dan diwariskan oleh masa lalu ke masa sekarang,[5] maka segala kemajuan modernitas tidak lebih dari fase perkembangan tradisi, dan konsekuensinya, modernitas adalah buah dari tradisionalisme. Maka dari sisi histories ini, polemic tradisionalisme muncul bukan karena sains, melainkan lebih sebagai akibat kebaharuan yang ditimbulkan oleh sains. Prinsip histories ini menyimpulkan bahwa tradisionalisme timbul sebagai reaksi terhadap munculnya ketidaksinambungan antara yang lama dan yang baru.[6]
Pertemuan dari pendekatan ontologis dan histories membuat para pakar tertantang untuk menjelaskan asumsi-asumsi yang melatarbelakangi kelahiran sains. Di sinilah problem yang lebih bersifat epistemologis dimunculkan oleh penganut tradisionalisme. Sains tradisional dikembangkan untuk melacak jejak-jejak Realitas (vestigia Dei), sedangkan sains modern berkembang untuk mendominasi, bahkan menundukkan alam. Ketegangan modernisme-tradisionalisme bukan terletak pada persoalan bagaimana sains itu diproduksi, melainkan bagaimana sains tersebut difungsikan dan diabdikan. Asumsi-asumsi teleologis ini terjadi dan saling bersebrangan lantaran berawal dari titik tolak yang berbeda pula. Dari asumsi teleologis inilah, persoalan epistemologis tradisionalisme muncul, mempertanyakan basis-basis keilmuan yang melatarbelakangi sains tradisional.
Konsisten terhadap penelusuran jejak-jejak Realitas (vestigia Dei), epistemologi tradisionalisme terbelah menjadi dua aliran filsafat; esensialisme dan perennialisme. Esensialisme adalah suatu aliran yang menginginkan agar manusia kembali kepada kebudayaan lama yang dianggap telah banyak memberi kebaikan-kebaikan bagi umat manusia.[7] Sekalipun kebudayaan lama pada dasarnya mencakup kebudayaan yang telah ada semenjak peradaban manusia yang pertama, namun esensialisme lebih merujuk dan mengedepankan suatu era tertentu dalam sejarah kebudayaan manusia, misalnya zaman renaissance. Karena berorientasi pada budaya lama, maka aliran ini sering dianggap sebagai conservative road to culture.[8]
Sains yang bercorak esensialis bermuara pada idealisme dan realisme yang diterapkan secara eklektik, bertemu tetapi tidak melebur jadi satu, tidak melepaskan sifat utama sebagai idealis dan realis.[9] Ciri utama realisme memandang bahwa alam yang pertama-tama memiliki kenyataan pada dirinya sendiri, dan ini harus dijadikan pangkal berfilsafat. Kualitas pengalaman terletak pada dunia fisik, sehingga menghasilkan penginderaan dan persepsi yang bukan bersifat mental semata. Jiwa manusia ibarat cermin dari dunia fisik. Kebenaran sains dengan demikian tidak hanya dipertimbangkan sebagai gejala subyektif atau obyektif semata, melainkan pertemuan dari keduanya.[10] Sedangkan ciri utama idealisme memandang realitas sama dengan substansi gagasan-gagasan (ide-de). Di balik dunia fenomenal terdapat jiwa tak terbatas yaitu Tuhan. Dengan menguji dan menyelidiki ide-ide serta gagasan-gagasannya, manusia akan dapat mencapai kebenaran yang sumbernya adalah Tuhan sendiri.[11]
Sedangkan sains yang bercorak perennialis merupakan aliran pemikiran esoterik yang terus mengartikulasikan dekadensi spiritual atau kenestapaan metafisika manusia modern. Perennialis mengajak kesadaran manusia untuk merenungkan pencapaian peradaban manusia, kemana ujung dari peradaban ini bermuara. Sesuai dengan istilahnya, (perenial : hal-hal yang ada sepanjang masa), perennialisme mengikuti tradisi yang ada sepanjang jaman untuk menatap kehidupan sekarang yang penuh dengan lika-liku. Sains yang dikehendaki perenialis bersifat regresif, yaitu kembali kepada kebenaran yang sesungguhnya ada dan melandasi etos setiapjaman. Karena itu pula, kualitas peradaban dalam pandangan perennialis bukan terletak pada kemajuan material, melainkan ketuntasan dari problem sejarah sepanjang masa, misalnya kemanusiaan, keadilan ataupun kebebasan berseni dan berkreasi.
Kesamaan dari dua pilar tradisionalisme di atas –yaitu esensialisme dan perennialisme- terlacak pada pandanganya mengenai metafisika,[12] sakralitas[13] dan spiritualitas.[14] Ketiga pandangan ini membuat epistemologi tradisionalisme berjarak –dan membuatnya sering dipertentangkan- dengan modernisme yang lebih mengutamakan dunia physic, materialis dan profan. Sayangnya cara pandang Cartesian semacam ini justru menempakan relasi keduanya sebagai thesis-anti tesis daripada mencari sintesis dari kelemahan masing-masing epistemologi. Tidak jarang, secara simplistik orang menganggap bahwa tradisionalisme akan surut manakala modernisme menguat, dan sebaliknya, tradisionalisme akan meningkat seiring merosotnya modernisme.[15] Sebuah pendekatan yang gagu dalam menanggapi fenomena tradisionalisme kontemporer yang dimotori Jepang sejak berlangsungnya restorasi Meiji.

Menelusuri Era Pra Dikotomi Tradisionalisme-Modernisme
Di depan tadi telah diuraikan beberapa pertimbangan yang melatarbelakangi polemik di seputar epistemologi tradisionalisme. Pengukuhan tradisionalisme sebagai reaksi terhadap modernisme dibantah oleh fakta historis bahwa modernisasilah yang terlahir dari rahim tradisionalisme. Saling klaim aksi-reaksi ini memerlukan pemecahan yang sepadan dengan problematika yang dihasilkan oleh tradisionalisme dan modernisme. Orang modernis mencurigai (pengujian) unit-unit logika yang membangun epistemilogis tradisionalisme sehingga diketahui batas-batasnya dengan modernisme. Merujuk pada sejumlah kepustakaan utama tradisionalisme (Rene Geunon, Ananda Coomaraswamy, Frithjof Schuon dan Seyyed Hossein Nasr) dan beberapa pemikiran anti-tradisionalisme (Legenhaussesn dan Deliar Noer), maka ontologi tradisionalisme setidaknya berpijak pada sakralitas, metafisika dan spiritualitas yang secara simetris berhadapan dengan ontologi modernisme yang lebih mengedepankan dunia profan, fisik dan materialis. Bergeser dari problem ontologis, dunia mengenal masa era Islam pertengahan sebagai masa dimana jurang tradisionalisme-modernisme belum tercipta. Dengan mempelajari unsur-unsur epistemologis dari pemikiran era ini, maka dapat dikenali cara kerja pemikiran tradisionalisme dalam bentuk awalnya.
Kegelisahan dualistik tradisionalisme-modernisme semacam ini nampaknya telah tertangkap dalam khasanah kepustakaan muslim klasik. Setidaknya hal ini tercermin dalam Kitab Ta’limul Muta’allim Thoriqotut Ta’allum (selanjutnya disingkat Ta’lim) yang pada tahun 593 H ditulis oleh Az-Zarnuji, seorang pengikut Abu Hanifah yang terkenal rasionalis dan optimis terhadap akal budi manusia. Credonya yang berbunyi : ’alaikum bil ’atiiq, wa iyyakum bil muhditsat ( Tetaplah pada ilmu yang kuno/tradisional, dan waspadalah terhadap ilmu yang baru/modern), di satu sisi menunjukkan pembelaannya pada tradisionalisme. Ciri lain dari tradisionalisme yang melekat pada Ta’lim adalah keyakinan pada yang metafisik (misalnya : Tuhan dan Malaikat), sakralitas (misalnya : otoritas & penghormatan pada ilmuwan) dan spiritualitas (misalnya : niyah & ’ibadah).
Di lain sisi, diam-diam Ta’lim juga menghendaki tumbuhnya sikap kreatif ( misalnya : tahsil/berkreasi dan himmah/cita-cita) dan progresif (ifadah/memberi manfaat & istifadah/ mengambil manfaat). Bahkan dalam beberapa bentuk, Ta’lim mengakui pengaruh signifikan dari dunia physic (misalnya: pengaruh makanan pada daya hafal), mengakomodir bentuk-bentuk prilaku profan dan materialisme (misalnya : rizqi dan usia). Dan sekalipun menunjukkan kecurigaannya pada filsafat (sebagai anasir modernisme di masanya), nampaknya Ta’lim menyadari potensi stagnasi budaya yang menyelimuti kalangan tradisionalis (dengan merendahkan posisi taqlid/sikap mengikut tanpa tahu dalil-dalil). Manakala Ta’lim mengajarkan spiritualitas (misalnya zuhud/ascetisme), maka dunia materi (misalnya dunia perdagangan) bukanlah pijakan yang tabu sebagai titik tolaknya.
Ta’lim menunjukkan persetubuhan epistemologi tradisionalisme-modernisme dalam bentuk klasiknya; metafisika-fisika, sakralitas-profan, dan spiritualitas-materialitas. Persoalan persetubuhan tersebut terbangun dalam pola kausalitas ataukah kontinuum masih membutuhkan perdebatan lebih jauh lagi. Justru dalam fase yang relatif awal, jejak-jejak epistemolologi tradisional patut ditelusuri untuk mencari alternatif dalam mensikapi modernitas dewasa ini. Terlebih lagi, Ta’lim dianggap sebagai pandangan yang secara luas dianut oleh kalangan tradisionalis Islam sebagaimana tercermin dari persebaran kitab ini ke berbagai belahan dunia muslim, dan dengan beragam terjemahan bahasa.
Sebagai produk di jamannya, Ta’lim mencerminkan spirit jaman yang menolak dikotomi sains dan agama, sehingga layak pula dipergunakan untuk menengarai epistemologi tradisionalisme yang reseptif terhadap modernisme. Dunia Islam pada saat Ta’lim ditulis, merupakan tempat persemaian tradisi intelektual yang amat subur. Dinamika di dalamnya mempertemukan berbagai tradisi pemikiran Yunani, Persian dan Mesopotamia. Salah satu konsep yang mendominasi dunia Islam dan memberikan corak dan sentuhan yang khas pada masa itu adalah konsep ’ilm. Sekalipun berbeda dengan pengertian sains dewasa ini, konsep ’ilm dianggap sebagai konsep sentral bagi peradaban muslim masa pertengahan.[16] Sekalipun pergulatan wacana di masa itu sempat ternodai intervensi politik, tradisi keilmuan masa itu tetap memperteguh supremasi peradaban islam sebagai mata rantai modernisme kontemporer.
Ta’lim sendiri sering menggunakan dua istilah yang mirip dalam memperkenalkan konsep ilmu, yaitu ’ilm dan fiqh. Yang pertama diartikan sebagai sifat yang memperjelas duduk perkara suatu persoalan (wa amma tafsirul ilmi, fahuwa shifatun yatajalla biha liman qomat hiya bihil madzkur). Yang kedua diartikan sebagai penguasaan terhadap problematika detail dari suatu ilmu (wal fiqhu ma’rifatu daqoiqil ilmi). Sebuah tipikal khas tradisionalis yang akrab dengan metafisik, sakralitas dan spiritualitas selanjutnya terlihat dalam hubungan antara pemahaman, penghayatan dan pengamalan. Relasi ini tercermin pada konsep yang tertuang pada rentetan istilah berikut yang terkait dengan kegiatan pembelajaran : ta’allum (mengkaji pengetahuan), tafaqquh (mendalami keilmuan), tholabul ’ilm (mencari ilmu) dan salaka (menjelajah pengetahuan). Di sisi ini, rekonstruksi terhadap pemikiran tradisionalisme yang terdapat dalam Ta’lim diharapkan menjadi inspirasi untuk menata ulang relasi sains-agama dan tradisionalisme-modernisme dalam bidang pendidikan. 


Jejak-Jejak Tradisionalisme
Saya belum sampai pada analisis utuh jejak-jejak tradisionalisme era Islam pertengahan. Kesimpulan sementara yang bisa saya ajukan, setidaknya menunjukkan dua fase catatan; level epistemologis dan level  berikut; pertama, ontologi metafisika dalam tradisionalisme muncul dalam rangka mencari spontanitas (tarian, seni, festival rakyat dll). Spontanitas tersebut membuat masyarakat tradisionalis terlepas dari gerak sosial yang mekanistik. Kedua, ontologi sakralitas dalam tradisionalisme muncul dalam rangka menumbuhkan voluntarisme (kerelaan untuk bergerak & berkontribusi ) Evolusi peradaban manusia membutuhkan ’kerelaan’ dari manusia-manusianya. Dan ketiga, ontologi spiritualitas dalam tradisionalisme lebih berorientasi pada pencarian kebahagiaan (happyness) agar manusia keluar dari nestapanya.
Pertanyaan baru segera muncul. Kalaulah begitu sempurna dan serasi antara ontologi dan epistemologi tradisionalisme, mengapa muncul kekecewaan yang melahirkan modernisme dengan beralih pada ontologi fisika, profan dan materialisme. Saya menduga nestapa yang dialami manusia modern, tidaklah murni karena modernisme itu sendiri seperti yang dituduhkan oleh kalangan tradisionalis. Dugaan sementara yang saya munculkan, tradisionalisme mengalami perceraian dengan modernisme karena dua pilar utamanya saling berkompetisi, yakni idealisme dan realisme.
Lalu, mau kemana dakwah kita hari ini ?

PRA DIKOTOMI    
ONTOLOGI               : METAFISIKA         SAKRALITAS           SPIRITUALITAS
                                    : FISIKA                     PROFAN                    MATERIALISME
EPISTEMOLOGI      : SPONTANITAS      VOLUNTARISME    HAPPYNESS


ERA DIKOTOMI MENUJU TRADISIONALISME     
 ONTOLOGI              : METAFISIKA         SAKRALITAS           SPIRITUALITAS
EPISTEMOLOGI      : REVIVALISME DAN FUNDAMENTALISME

ERA DIKOTOMI MENUJU MODERNISME   
ONTOLOGI               : FISIKA                     PROFAN                    MATERIALISME
EPISTEMOLOGI      : PROGRESFIVISME, PRAGMATISME DAN LIBERALISME
                                    : SEKULERISME      DESAKRALISASI    KAPITALISME

POST TRADISIONALISME ?
POST MODERNISME ?


[1] See Sharabi,Hisham,(1970),Arab Intellectuals and the West:The Formative Years,1875-1914,Baltimore and London:The John Hopkins Press,pp.3-6.See also Baharuddin,Azizan,(1998),”Al-Afghani and Scientific Spirit,” Kuala Lumpur:Institute for Policy Research,pp.1-2.
[2] Sharabi,H.(1970),op.cit. p.6.
[3] “Modernization is the process of rational transformation of nature and society by man
through the development of science and its application in technology.” See Waarderburg, Jacques, (1996),”Some Thoughts on Modernity and Modern Muslim Thinking about Islam” in Islam and the Challenge of Modernity:Historical and Contemporary ontexts,edited by Sharifah Shifa al-Attas,Kuala Lumpur:ISTAC,p 317.
[4] Sharabi,H.ibid.pp.6-7.
[5] D.A.Peransi, “Retradisionalisasi dalam Kebudayaan”, Majalah Prisma, No.6, 1985, hlm. 9.
[6] Curtis, 1985.
[7] H.B.Hamdani Ali, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta, Penerbit Kota Kembang, 1993, p.116
[8] Pendidikan bagi aliran ini adalah pemelihara kebudaayaan, education as cultural conservation. Lihat Theodore Brameld, Philosophies of Education in Cultural Perspective, New York, Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1995, p.203.
[9] Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode, Op.Cit., p.38.
[10] J.D.Butler, Four Philosophies and Their Practice in Education and Religion, New York, Harper and Brothers, 1951, p.161.
[11] J.D.Butler, Four Philosophies and Their Practice in Education and Religion, New York, Harper and Brothers, 1951, p.161.
[12] Isu mengenai metafisika banyak dikembangkan oleh Rene Guenon dalam Oriental Methaphysic
[13] Isu mengenai sakralitas dikembangkan oleh Sayyed Hossein Nasr.
[14] Isu spiritualitas banyak dikembangkan oleh Schuon.
[15] Lihat pandangan Legenhausen dalam Why I am Not an Traditionalist?
[16] Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant : the Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden: E.J. Brill, 1970), p.2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar