Selasa, 26 April 2011

PERAN IDEAL PEREMPUAN

Oleh: Sri Wahyuni*

Dalam masyarakat Jawa, sering dikenal peribahasa ‘suwarga nunut neraka katut’. Peribahasa ini ditujukan kepada kaum perempuan, yang berarti bahwa surga-nerakanya seorang perempuan tergantung kepada suaminya. Seorang istri harus tunduk, taat dan patuh terhadap suami. Apapun yang dikatakan dan diperintahkan suami, istri harus mengikuti dan melaksanakannya.
Seorang istri juga dianggap ‘konco wingking’ sang suami. Artinya bahwa seorang istri dianggap sebagai orang yang hanya bertugas di belakang, yang identik dengan pekerjaan rumah tangga. Oleh karena itu, sering juga dikatakan bahwa tugas perempuan itu hanya ‘dapur sumur kasur’, atau sering pula diungkap dengan istilah ‘masak macak manak’. Seorang perempuan hanya dianggap manusia nomor dua, yang melengkapi peran suaminya dalam urusan kerumah tanggaan, yaitu urusan menyuci, bersih-bersih, memasak, dan melayani sang suami.
Dalam masyarakat Jawa, sering dikenal peribahasa ‘suwarga nunut neraka katut’. Peribahasa ini ditujukan kepada kaum perempuan, yang berarti bahwa surga-nerakanya seorang perempuan tergantung kepada suaminya. Seorang istri harus tunduk, taat dan patuh terhadap suami. Apapun yang dikatakan dan diperintahkan suami, istri harus mengikuti dan melaksanakannya.

Seorang istri juga dianggap ‘konco wingking’ sang suami. Artinya bahwa seorang istri dianggap sebagai orang yang hanya bertugas di belakang, yang identik dengan pekerjaan rumah tangga. Oleh karena itu, sering juga dikatakan bahwa tugas perempuan itu hanya ‘dapur sumur kasur’, atau sering pula diungkap dengan istilah ‘masak macak manak’. Seorang perempuan hanya dianggap manusia nomor dua, yang melengkapi peran suaminya dalam urusan kerumah tanggaan, yaitu urusan menyuci, bersih-bersih, memasak, dan melayani sang suami.
Anggapan-anggapan tadi telah membeku menjadi nilai-nilai yang membangun budaya dalam suatu masyarakat partiarkhi (masyarakat yang menganut garis keturunan dari Bapak). Masyarakat patriarkhi cenderung memberikan kekuasaan lebih kepada seorang Bapak dan semua keturunan laki-laki, sehingga perempuan cenderung dikesampingkan. Perempuan dianggap tidak layak untuk ‘tampil ke depan’ menjadi pemimpin dan melakukan pekerjaan-pekerjaan publik.
Anggapan ini berimplikasi terhadap seluruh dimensi kehidupan masyarakat. Seperti adanya perwalian untuk perempuan dalam berkontrak atau melakukan perbuatan hukum lainnya, pendidikan tinggi yang tidak diberikan kepada anak-anak perempuan, dan warisan yang separuh dari bagian laki-laki.
Apakah sosok perempuan memang mempunyai kodrat seperti itu? Sekarang kita lihat perempuan-perempuan yang menjadi pemimpin dan aktif dalam panggung politik negara, juga perempuan-perempuan karir yang bekerja dalam sektor publik. Di masyarakat pedesaan yang cenderung patriakhi, perempuan juga bekerja di luar rumah. Mereka berjualan di pasar-pasar, menanam padi di sawah, mengetam dan melakukaan pekerjaan-pekerjaan pertanian lainnya. Bagaimana sebenarnya sosok perempuan yang kita idealkan ?
Dalam sejarah Islam awal (masa Nabi Muhammad Saw. dan para sahabat), kita mengetahui bahwa Siti Khadijah, istri pertama Nabi Muhammad, adalah seorang saudagar kaya, seorang juragan yang mengatur managemen perniagaannya. Teladan ini berarti bahwa seorang perempuan juga dapat melakukan bisnis-bisnis perniagaan.
Aisyah, salah satu istri Nabi Saw., juga dikenal dengan kecerdasannya. Dia telah meriwayatkan banyak hadits, bahkan dalam sejarah perpolitikan, Aisyah pernah dikenal sebagai seorang panglima dalam perang Jamal. Pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (khalifah keempat dari khulafarurrasyidin), masyarakat disibukkan dengan masalah terbunuhnya Utsman bin Affan (khalifah ketiga). Pada saat itu, masyarakat terbagi menjadi kelompok pendukung Khalifah Ali dan kelompok oposan yang menuntut keadilan atas terbunuhnya Khalifah Utsman. Termasuk dalam kelompok oposan ini adalah Aisyah yang berkoalisi dengan Thalhah dan Zubair. Ketika mereka menyatakan perang, Aisyah-lah yang menjadi panglima dari kelompok oposan ini. Walaupun banyak ‘suara miring’ setelah kekalahan Aisyah dalam perang tersebut, seperti tersebarnya hadits Lan yufliha al-qaum wallau amrahum imroatan (‘Tidak akan bahagia suatu kaum, jika urusannya diserahkan kepada perempuan’), namun kita dapat meneladani keberanian dan keperwiraannya dalam urusan-urusan publik terutama panggung perpolitikan pada saat itu.
Hadits di atas sering dijadikan dalil untuk menolak peran perempuan dalam urusan publik. Sebenarnya hadits itu muncul dan menyebar pada saat setelah kekalahan Aisyah dalam perang Jamal. Hadits itu dimunculkan oleh Abu Musa –menurut penelitian Fatima Mernissi— seorang oportunis yang belum bisa bersikap tegas pada saat muncul perpecahan, namun dia membelot dan mendukung kekhalifahan Ali ketika melihat Aisyah kalah.
Dalam cerita nabi-nabi terdahulu, kita mengenal Asiyah, sosok perempuan yang beriman dan beramal sholeh namun diperistri seorang raja yang sangat lalim, bahkan mengaku dirinya sebagai Tuhan, yaitu Raja Fir’aun. Sebaliknya, kita juga mengetahui cerita tentang istri Nabi Luth dan Nuh As., yang kafir dan durhaka. Dari cerita ini, dapat kita ambil hikmah bahwa keimanan dan kemunkaran seorang istri tidak tergantung kepada suaminya, surga-neraka sang istri tidak tergantung kepada suaminya.
Dalam masyarakat kita sekarang ini telah terjadi pergeseran nilai-nilai patriarkhi menuju peningkatan harkat dan mertabat kaum perempuan sebagai manusia (human) yang sama dan setara dengan kaum laki-laki. Kaum perempuan yang dianggap sebagai manusia kelas dua (belum mempunyai hak yang sama dengan laki-laki), kini telah memperoleh sepenuhnya hak kemanusiaannya.
Spirit Kartini, yang telah memperjuangkan kaum perempuan dan mempelopori pendidikan bagi kaum perempuan, kini berlanjut kepada perjuangan kesetaraan hak-hak dalam bidang kehidupan yang lain. Seperti hak-hak politik, untuk memilih dan dipilih dalam pemilu, diberikan kuota 30 % bagi perempuan, bahkan fenomena kepemimpinan perempuan juga telah dapat diterima oleh masyarakat.
Hak-hak lain sebagai warga negara, seperti hak dalam bidang pendidikan, hukum, dan ekonomi, juga telah dijamin secara konstitusional. Pada realitas kehidupan sekarang ini, dapat kita lihat banyak perempuan yang menjadi pakar beberapa disiplin ilmu pengetahuan, perempuan yang menjadi advokat, pengacara dan praktisi-praktisi hukum lainnya, perempuan yang sukses dalam dunia bisnis. Akan tetapi, apakah fenomena tersebut juga telah didukung oleh budaya kita? Apakah dalam budaya kita yang patriarkhi, perempuan telah menikmati kesetaraannya?
Perempuan-perempuan yang sukses dalam berbagai bidang kehidupan tersebut hanyalah segelintir orang yang memang tumbuh dari kalangan masyarakat kelas menengah ke atas. Perempuan yang sibuk dalam karirnya, biasanya lepas dari pekerjaan-pekerjaan domestik kerumahtanggaan, karena mereka hidup berkecukupan, sehingga tugas dan pekerjaan domestik dilakukan oleh para pembantu. Sementara itu, di kalangan masyarakat bawah yang relatif miskin, perempuan juga melakukan pekerjaan di luar rumah untuk mencari nafkah guna menyokong hidup rumah tangganya. Mereka berjualan di pasar-pasar untuk membantu penghasilan suami yang relatif kurang. Di sisi lain, mereka juga harus melaksanakan kerja-kerja domestik kerumahtanggaannya sebelum berangkat ke luar rumah. Dengan demikian mereka memainkan ‘peran ganda’ dalam kehidupan rumah tangga. Apakah ini suatu yang adil?
Dalam budaya kita, laki-laki bertugas memberikan nafkah keluarga, sedangkan perempuan bertugas mengurus rumah tangga. Ketika seorang perempuan bekerja di luar rumah, maka ia cenderung memiliki beban kerja yang lebih berat dari pada laki-laki, bahkan perempuan dituntut untuk berperan ganda, yaitu kerja di luar rumah dan tugas-tugas domestik kerumahtanggaan.
Peran ganda ini terjadi karena pembagian kerja tersebut dianggap baku, sehingga sering disebut sebagai kodrat. Bahkan tidak jarang dikatakan bahwa kodrat perempuan adalah mengurus rumah tangga (dalam istilah masyarakat Jawa dapur sumur kasur, dan masak macak manak), sehingga meskipun perempuan sudah berperan di luar rumah namun kerja-kerja domestik -yang dianggap kodrat tersebut- tetap saja tidak boleh ditinggalkan.
Hal yang kodrati adalah yang given (diberikan) oleh Tuhan dan tidak bisa dirubah. Sementara pembagian tugas bukanlah kodrat, melainkan nilai-nilai yang timbul dalam suatu masyarakat tertentu yang telah mengkristal menjadi satu budaya (cultur). Budaya ini dapat berbeda dari masyarakat satu dengan masyarakat lain. Oleh karena itu, untuk memberikan hak-hak perempuan sepenuhnya, harus dilakukan perubahan terhadap budaya patriarkhi tersebut.
Perubahan ini dapat dilakukan secara evolutif (lambat dan bertahap), dengan merombak kesadaran dan pola pikir masyarakat tentang perempuan, kedudukan dan perannya. Dimulai dari perubahan kesadaran individu bahwa pembagian kerja bukanlah suatu yang baku, mutlak dan bukan pula kodrat. Pembagian kerja adalah budaya yang dapat berubah secara evolutif. Kerja-kerja rumah tangga dapat saja bersifat sharing, berbagi atas kesepakatan bersama, agar tidak terjadi peran ganda yang cenderung memberatkan perempuan. Dengan demikian, maka perempuan mampu aktif di luar rumah dan melakukan pekerjaan-pekerjaan publik.
Dari paparan di atas, maka dapat ketahui bahwa perempuan adalah manusia yang sama dengan laki-laki, yang tidak layak untuk memperoleh perlakuan yang diskriminatif. Perempuan dan laki-laki sama-sama sebagai manusia yang dapat bekerja sama, membangun kesepakatan bersama (dalam rumah tangga), dan sama-sama dapat aktif dalam bidang publik.
Untuk merubah budaya patriarkhi yang cenderung mengungkung potensi perempuan untuk meraih hak-haknya, kita harus memulai dari perubahan kesadaran dalam diri kita sebagai bagian terkecil dari masyarakat, guna membangun nilai-nilai baru yang lebih adil dan humanis[].

*Penulis adalah Mahasiswa Program Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, yang juga telah menyelesaikan Magister Hukum Islam di Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.dan alumni KORDISKA 1998.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar