Oleh: Mohammad Affan*
Seorang pakar sosiologi dari UI, Dr. Kastorius Sinaga, pernah berkomentar tentang pola hubungan kekuasaan di Indonesia: “Bagi orang Indonesia, kekuasaan merupakan privilege (anugerah) yang datang dari Tuhan ketimbang amanat dari rakyat”. Lalu tambahnya “Kekuasaan yang bagaikan raja ini berkenaan dengan budaya bangsa kita sejak dahulu kala yang memang bersandarkan pada kekuasaan ketimbang pelayanan, terutama dalam budaya Jawa”. Dengan demikian, konsep kepemimpinan yang berkembang sejak zaman pemerintahan raja-raja, zaman penjajahan, zaman Soeharto, dan zaman pemerintahan Orde Baru dapat dikatakan pemimpin dengan gaya kepemimpinan masih terpisah dengan masyarakat. Hal seperti inilah yang kemudian mengejawantah dalam budaya kepemimpinan nasional yang masih menjadi warisan sampai pemerintahan sekarang.
Sebagai bangsa yang mewarisi sejarah berbagai kerajaan besar di masa lalu, pastilah Indonesia memiliki khazanah kepemimpinan yang beragam, sesuai dengan ke-bhineka-an suku bangsa yang ada. Sayangnya, selama ini berbagai ragam khazanah budaya kepemimpinan ini bagai tenggelam dalam budaya kepemimpinan yang mitologis, yang tumbuh subur selama masa pemerintahan Orde Baru dan diperkukuh oleh masuknya budaya militer dalam kehidupan sipil, melalui peran sosial politik TNI (ABRI-dulu).
Terjadinya krisis kepemimpinan ini ditandai oleh kelangkaan pemimpin dan kemampuan pemimpin yang tidak memadai. Ratusan dan bahkan ribuan tokoh masyarakat dari berbagai profesi yang telah berkelompok membentuk berbagai partai politik, bersama para ahli dan pengamat berbagai aspek kehidupan, tidaklah mementahkan anggapan tentang kelangkaan pemimpin nasional. Sebab kenyataannya, para pemimpin politik yang ada justru gagal mengembangkan diri sebagai pemimpin yang mempersatu-kan masyarakat atau bangsa, karena mereka berhenti pada posisi sebagai pemimpin golongan, sebagai “kepala suku” politik. Mereka pun terjebak oleh tujuan-tujuan sempit golongan, seperti membangun negara agama, menghidupkan tradisi lokal, dan sebagainya. Sehingga demokrasi, modernisasi, dan kemandirian yang harus dijadikan arah reformasi menjadi kabur. Krisis figur kepemimpinan di era reformasi ini dapat ditelusuri melalui pemahaman tentang interaksi dan relasi pemimpin dengan rakyat, manfaat atau fungsi pemimpin terhadap rakyat dan negara, dan kekuatan politik yang mendukung pemimpin untuk melaksanakan tugasnya secara efektif.
Akhir-akhir ini, semakin jelas ketidak-seimbangan interaksi rakyat dengan pemimpinnya. Antusiasme pemimpin untuk mendekati rakyatnya tampak kuat dalam hal pemimpin memerlukan dukungan. Tetapi, apabila dukungan sudah diperoleh, seperti melalui pemilu atau opini publik, pemimpin tidak merasa wajib untuk mengimbanginya dengan membuat kebijakan publik yang adil alias pro-rakyat.
Malah, pemimpin yang memperoleh kepercayaan rakyat untuk berkuasa atas negara, bersikap sebagai wali rakyat, sehingga merasa berhak mengatasnamakan rakyat tanpa perlu berkomunikasi dengan mereka. Jadi hakikat interaksi pemimpin dengan rakyat yang bersifat satu arah pada era Orba, tidak mengalami perubahan secara mendasar.
Keluhan orang kebanyak-an (wong cilik) bahwa kehidupan mereka lebih baik pada masa Orba, adalah gambaran tentang sikap apatisme mereka terhadap pemimpin yang ada sekarang. Kekuasaan para pemimpin atas negara, belum dirasakan bermanfaat bagi mereka. Golongan menengah ke atas, amat boleh jadi berbeda dalam menilai reformasi. Mereka menikmati berbagai kebe-basan, sekalipun ekonomi mereka tidak terlalu baik. Mereka menikmati kom-pensasi kemerosotan ekonomi dengan kebebasan politik.
Harus diakui, bahwa para pemimpin itu mengalami krisis dalam kadar dan kompleksitas yang berbeda satu sama lain. Kondisi krisis kepemimpinan mereka ditampilkan lewat sikap dan kinerja serta produk kebijakan mereka yang bermuara pada mandeg dan sesatnya perjalanan reformasi, serta senjangnya demokrasi dengan efektivitas pemerintahan di samping timpangnya manfaat kepemimpinan antarlapisan dan golongan masyarakat
Sebentar lagi kita akan menjelang pemilihan presiden dan wakilnya. Tentu saja sebagai rakyat Indonesia kita berharap pemimpin yang terpilih sungguh-sungguh akan melayani rakyat. Namun kenya-taannya, tidak semua calon pemimpin (baca: capres) yang ada dapat diterima oleh semua golongan. Jika demikian, bagaimanakah seharusnya sikap seorang pemimpin bangsa yang terpilih nanti?
Titik awalnya adalah kesediaan seorang pemimpin untuk menerima perbedaan pendapat, dan kesediaan untuk menye-lesaikan perbedaan pendapat melalui dialog interaktif. Selama masih dalam koridor hukum, perbedaan pendapat perlu terus dipupuk dan dipelihara, dan oleh kare-nanya, seorang pemimpin perlu secara kontinyu membuka pintu dialog. Pikiran untuk mengerahkan massa dalam menghadapi perbedaan pendapat harus dibuang jauh-jauh. Kalau rakyat sudah merasakan nyamannya berbeda pen-dapat dengan sang pemim-pin, niscaya sikap dan perilaku inovatif, kreatif dan inisiatif mereka dapat tumbuh dan berkembang.
Selain itu, syarat utama kepemimpinan adalah kemampuan mendengarkan. Manusia diciptakan dengan dua telinga dan satu mulut. Ini adalah isyarat bahwa kita perlu mendengar dua kali sebelum berbicara satu kali. Mulut juga didisain tertutup sementara telinga kita dibuat terbuka. Ini juga pertanda bahwa kita perlu lebih sering menutup mulut dan membuka telinga.
Prinsip dasar inilah yang sebetulnya perlu dipahami oleh seorang pemimpin dimana pun ia berada, apakah ia memimpin negara, perusahaan, organisasi, rumah tangga maupun diri sendiri. Semua masalah yang terjadi di dunia ini senantiasa bermula dari satu hal: kita terlalu banyak bicara tapi kurang mau mendengarkan orang lain. Kita memiliki terlalu banyak statement (pernyataan), tetapi terlalu sedikit statesman (negarawan) yang ditandai dengan kemauan untuk mendengarkan pihak lain.
Tetapi, mendengarkan dengan telinga sebenarnya belum cukup. Seorang pemimpin bahkan dituntut untuk dapat mendengarkan hal-hal yang tak bisa didengarkan, menangkap hal-hal yang tak dapat ditangkap, serta merasakan hal-hal yang tak dapat dirasakan oleh orang kebanyakan. Seorang pemimpin perlu mendengar-kan dengan hati. Penyair Kahlil Gibran menggambar-kan hal ini dengan mengatak-an: ‘’Adalah baik untuk memberi jika diminta, tetapi jauh lebih baik bila kita memberi tanpa diminta.’’ Kita memberikan sesuatu kepada orang lain karena penghayatan, rasa empati dan kepekaan kita akan kebutuhan orang lain. Di sini orang tak perlu mengatakan atau menunjukkan apapun. Kitalah yang langsung dapat menangkap apa yang menjadi kebutuhannya. Komunikasi berlangsung dari hati ke hati dengan menggunakan ‘’kecepatan cahaya’’.
Sayang, amat jarang pemimpin di Indonesia yang memiliki kepekaan ini. Untuk sampai ke level pertama saja yaitu mendengarkan dengan telinga masih banyak yang belum mampu.
*Penulis adalah
Koordinator Forum Kajian Quran (FKQ)
Al-MIzan IAIN Su-Ka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar