Selasa, 24 Mei 2011

ZAMAN SERBA TERBALIK

Oleh: Shofi’i el Fathi
Ini zaman serba terbalik. Musang berbulu ayam dan serigala berbulu domba, merupakan panorama yang anyar. Bermacam kesenian modern—khususnya film—bukan dimanfaatkan untuk memperhalus budi nurani, membina peradaban bangsa menyemai rasa religiusitas, namun malah sebaliknya. Mayoritas film-film nasional maupun film-film impor justru lebih mendorong merajalelanya sikap hedonistik, bebas luar biasa, suka pamer dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Film bukannya menyuguhkan drama kehidupan dan cerita-cerita yang bersifat edukatif, tetapi malah mempertontonkan hal-hal yang tabu menurut kriteria agama dan etika ketimuran.
Dapat kita saksikan, betapa dengan giatnya film-film nasional kita mengekspos adegan-adegan mesum, menampilkan cerita-cerita konyol, dengan teknik ungkap yang vulgar. Keluar dari ruang TV atau gedung bioskop, orang bukannya memperoleh renungan-renungan hidup yang membawa ke arah kesadaran spiritual, melainkan bermacam-macam bentuk ritualisasi yang mendangkalkan akidah. Keberadaan film nasional, dengan sangat transparan dan tanpa malu-malu mengajari penonton dengan praktik-praktik yang mengumbar hawa nafsu, teknik-teknik berbuat jahat, tayangan gaib yang condong ke arah syirik, kegandrungan hal-hal duniawi, dan sebagainya.
Panggung Sandiwara
Ini zaman serba terbalik, serba edan. Dunia ini seperti halnya panggung sandiwara. Apa yang digelar dan dipentaskan dalam panggung kehidupan, terkadang lebih dramatis, dan lebih menipu daripada yang biasa kita saksikan lewat layar perak dan layar kaca. Kepalsuan, kemunafikan dan kekonyolan begitu merunyak. Apa yang ditayangkan pada film, sesungguhnya merupakan kepalsuan, kemunafikan dan kekonyolan pada masyarakat kita. Film adalah kemasan yang sangat eksploratif akan realitas sosial kekinian.


Kemunafikan dengan nyata bisa kita saksikan pada tingkah orang-orang yang sok suci, sok alim, sok dermawan, sok sederhana, sok jujur, sok agamis, sok intelek, dan sok cinta, padahal itu hanyalah topeng untuk menutupi wajah buramnya. Mereka memberi nasihat-nasihat yang muluk-muluk, namun yang mereka kerjakan jarang mengacu pada perkataan yang telah mereka ucapkan. Mereka menumpuk kekayaan, hidup secara hedonistik, sementara jalan yang mereka tempuh adalah jalan manipulasi korupsi, kolusi, kriminal, dan maksiat. Mereka melakukan berbagai skandal, menyembunyikannya begitu rapat sehingga tidak ter-ekspos, namun orang tidak pernah bisa diyakinkan bahwa mereka adalah orang-orang sederhana, bersih, polos dan jujur. “Yang berfoya-foya itu kan anak-anak dan saudaraku, saya tidak”, kata mereka. Tetapi apakah memang demikian ?

Keedanan Pelaku Zaman
Ini zaman serba edan tapi kita musti ingat, zaman ini siapa yang bikin? kalau ada satu zaman yang edan, maka keedanan itu pasti terjadi karena keedanan pelaku-pelaku zaman itu sendiri. Mana mungkin pelaku-pelaku zaman, orang yang baik-bai,tapi zamannya edan? Keedanan sebuah zaman terjadi karena banyak manusia yang menghuni dan menjadi pelaku zaman itu adalah orang-orang yang senewen. Semakin banyak orang-orang senewen yang menghuni sebagai zaman, kadar keedanan zaman itu semakin tinggi juga.
R. Ng. Ranggawarsito dalam Serat Kalatida pernah mengungkapkan bahwa zaman edan hampir semua orang cenderung kepada kejahatan, kemungkaran dan kemaksiatan. Keadilan dan kebenaran, perdamaian dan kebajikan adalah sesuatu yang luka dan langka. Orang jujur justru diejek, orang berkata benar justru dianggap kolot, orang memegang teguh norma-norma agama dianggap ketinggalan zaman. Ukuran baik dan benar menurut mereka adalah segala yang nampak dan penuh gebyar, glamour, modern, serta menyenangkan perasaan dan nafsu. Orang cuma berorientasi pada sukses material, semua kebutuhan fisik terpenuhi, hidup serba nyaman dan gemerlapan.
Jadi bagaimana? Patut direnungkan sebuah pertanyaan yang dilontarkan penyiar Hamdy Saled dalam puisinya “Sehabis Mengaji” yang berbunyi, “Apakah dunia sedang menuju pelacuran?” Ya, orang begitu menggandrunginya pada yang disebut seks, menggandrungi pesta kenikmatan kelamin, dengan relasi yang berganti-ganti. Menggandrungi nikmatnya kekayaan, kekuasaan, popularitas. Menggandrungi sanjung puja dan kenikmatan duniawi. Menggandrungi hidup yang serba enak, nyaman penuh glamoritas.
Inilah yang disebut hedonisme itu, semua diburu dengan berbagai cara. Karena dengan cara-cara yang etis dan wajar, tercapainya semua itu akan sangat lamban dan bahkan mungkin tidak akan tercapai sehingga ditempuhlah cara-cara yang penuh trik dan tipu muslihat. Mereka bilang, orang modern harus pandai berfikir balik, harus terampil bermain akrobat. Harus menjadi pemain watak dan aktor kehidupan yang handal dengan akting sempurna.
Sesungguhnya tidak ada terapi yang efektif untuk menyembuhkan keadaan yang sangat parah itu, kecuali agama nan suci mulia, kecintaan yang mendalam pada Allah, iman dan ketakwaan yang didasari kekhusyukan dan keikhlasan karena-Nya. Karena yang paling bermakna dalam hidup adalah berbakti kepada Allah dengan jalan menjalankan syari’atnya dan menjauhi larangan-Nya.
Semua dan dunia ini bisa serba terbalik, karena orang telah kehilangan ketulus ikhlasan, kehilangan cinta dan kesetiaan, kehilangan iman dan ketakwaan. Bila semua yang hilang itu bisa dikembalikan, meski berangsur-angsur maka frekuensi kriminalitas, kemungkaran, kemunafikan itu bisa ditegakkan, manakala kita memiliki pondasi iman dan ketakwaan yang kuat dan mantap, ketulusan dan kesungguhan mengabdi kepada-Nya, serta keikhlasan dan keringanan hati beramal saleh pada sesama insan.[]
*Shofi’i el Fathi, adalah Mahasiswa Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan pengurus bidangLembaga Studi Islam Pembebasan (L-SIP) KORDISKA UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar