“Fastabiqul khairat”, ungkapan ini pasti tidak asing lagi terngiang di telinga kita, banyak orang, bahkan hampir semua orang mengartikan bahwa fastabiqul khairat itu berlomba-lomba dalam kebaikan. Berasal dari kata سَبَقَ - يَسْبُقُ – سَبْقا artinya mendahului atau bercepat-cepat.
Jikalau kita mengartikan potongan ayat itu dengan berlomba-lomba, maka marilah kita beranalogi terlebih dahulu. Dalam suatu perlombaan tentu ada yang menang dan ada juga yang kalah, dapat kita lihat dari gejala pendidikan di Indonesia, adanya system rangking di kelas yang diterapkan oleh hampir semua sekolah di Indonesia. Hal ini tidak selamanya berdampak baik, namun yang rinisnya, hal ini dapat berdampak buruk bagi psikologi sebagian siswa, karena kemampuan masing-masing anak didik itu berbeda- beda, dan merekapun mempunyai bakat yang berbeda pula. Bagi yang mendapat juara (pintar) mereka akan merasa senang, puas, dan bangga akan hasil yang telah diraih, namun bagi sebagian siwa lain yang mempunyai kelebihan hanya di bidang tertentu saja, atau mereka yang tidak mendapat rangking, maka mereka akan merasa kecil hati.
Contoh lain, banyak sekali ajang kompetisi pencarian bakat di Indonesia, contohnya: salah satu Indonesian Idol, di sini mereka saling berlomba-lomba untuk menjadi juara dan menjadi nomer wahid, berselang kompetisi itupun berjalan, hingga akhirnya mengumumkan satu orang yang sebagai pemenang, bagaimana dengan yang lainnya?? Ketika satu orang menjadi pemenang, maka yang lainnya (yang kalah) adalah pecundang. Mungkin seperti itu kiranya makna dari sebuah perlombaan.
Jikalau fastabiqul khairat kita artikan “berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan”, otomatis ada yang menang dan ada yang kalah, yang menang akan mendapatkan hadiah, sedangkan yang kalah tidak mendapat apa-apa. apakah dalam hal beribadah atau berbuat baik itu ada yang kalah?? Tentu Tidak!! Dalam beribadah tidak ada yang kalah, dan tidak akan ada yang namanya pecundang. Maka makna “berlomba-lomba dalam kebaikan” tampaknya harus diganti penafsirannya dengan “bercepat-cepat atau beradu cepat dalam kebaikan”. Karna sekecil apapun kebaikan manusia pasti akan dibalas oleh Allah, dan sebesar apapun kebaikan yang dilakukannya juga pasti akan dibalas. Seperti janji Allah dalam surat al-zalzalah ayat 7 :
فمن يعمل مثقال ذرّة خيرا يره
Perlombaan juga dapat diartikan sebuah persaingan, mengapa? Karna dalam perlombaan, tiap-tiap orang akan menunjukkan kemampuan yang ia miliki. Apakah dalam perlombaan/ kompetisi kita dapat membantu teman kita? tentu jarang sekali bahkan tidak diperbolehkan. Begitulah perlombaan, saling menonjolkan kelebihan dan kemampuan yang dimiliki. Maka tak jarang anak-anak masa kini kebanyakan tumbuh sebagai orang yang ingin mengalahkan orang lain bahkan saudaranya sendiri, mereka hanya memikirkan prestasi diri sendiri. Buktinya disekolahan (system ranking seperti yang sudah dipaparkan di atas) sehingga sikap itu terus terbawa ke masyarakat dan lingkungannya sampai ia besar. apakah hal ini dapat kita samakan dengan beribadah? Tentu tidak!! Dalam beribadah kita boleh-boleh saja membantu orang lain, bahkan diwajibkan. Tetapi dalam perlombaan, kita tidak dibenarkan membantu lawan kita, bisa-bisa didiskualifikasi.
Yang jadi masalah pada hari ini bukan masalah perbedaan pendapat, melainkan pendapatan. فَا سْتَبِقُوْا الخَيْرَات adalah contoh kecil dari pengkajian islam secara instan. Kita mendapat pemahaman tersebut secara instan. Sehingga tidak jarang dikalangan masyarakat ditemukan banyak aliran. Orang bodoh atau awam, dalam beribadah jangan sembrono, kalau sembrono sangat membahayakan, karna akan merusak struktur iman, bahkan memunculkan aliran sesat.
Ada sekelompok orang Cirebon mengatakan, bahwa didunia ini ada dua makhluk yang paling merusak, yaitu gagak dan kunthul. Gagak merupakan burung yang suka makan ikan yang sudah mati atau bangkai. Mengapa harus gagak? Karena gagak itu merupakan sosok preman, koruptor yang suka memakan hak orang lain.
Sedangkan kunthul, apa itu kunthul??. Kuntul adalah bangau. Hee.. kuntul merupakan burung pemakan binatang yang hidup. Kuntul merupakan sosok ulama pada hari ini. Ulama yang mempolitisi agama. Jadi, orang pintar jangan arrogant, kalau arogan, seperti kunthul.
Seburuk-buruk gagak, maka lebih buruk dan lebih membahayakan lagi adalah kunthul, kunthul selalu memanfaatkan kesempatan yang ada, tampilan sok suci, namun dibalik itu ada niatan lain. Sebagai contoh, sertifikat halal, MUI mensahkan adanya program ini dengan tujuan materialistik. Perusahaan makanan, untuk mendapatkan sertifikat halal harus mengeluarkan rupiah, dan uang tersebut masuk ke kantong para ulama tersebut. Mereka tidak memikirkan bangsanya, tetapi banksaku (bangsa ku masuk ke saku ku).
Maka daripada itu,berhati-hatilah dalam menafsirkan sesuatu, agar kita tidak terjerumus kedalam penafsiran ilmu islam yang instan
-Auline (penerbitan)-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar